Thursday, November 29, 2012

Santilik Pukul 05.30

Kabut
Belum beranjak
Selimuti pepohonan

Matahari
Mengintip ragu
Dari balik awan hitam

Hamparan tanah
Kosong
Menunggu sawit

Pepohonan
Berdiri tegar
Tanpa daun

Bunga ilalang
Di ujung daun
Pasrah menunggu jatuh

Dua pasang burung
bercengkerama mesra
Di dahan pohon mati


Ayam hutan
Terbang bergegas
Hindari mobil

Semesta
Menggeliat
Memulai hari

Dan kau disana
Sudahkah membuka harimu
Dengan senyuman?

Wednesday, August 15, 2012

Kepada Raja Rimba

Karena kau Raja Rimba ibarat guru bagi para muridmu
Ditiru dan digugu
Maka perhatikan lakumu

Ketika berkesah pilu
Mengaduh sendu
Di hadapan seluruh warga rimbamu
Di depan gajah, buaya, serigala, belalang bahkan semut
Tak kah kau timbang wibawamu?

Jangan heran ketika keledai begitu cengengnya
Jangan bertanya ketika buaya berurai air mata
Hanya karena luka kecilnya

Mereka hanya menirumu!
.......

Jakarta, Maret 2012

Sunday, August 12, 2012

Untitled

Sebelum kita berpisah jauh
Tolong beri aku senyum itu
Yang dulu kulihat ketika pertama bertemu
Yang membuatku diam termangu
Yang kuyakin tak palsu

Jika kelak kembali kita bertemu
Tolong beri aku senyum manismu itu
Yang mampu menghibur di tiap sedihku
Yang membuatku selalu rindu akanmu
Yang tak kutemukan lagi di selainmu
.......

Aku dan Sang Surya

Kemarin aku bertemu Sang Surya
Ketika itu dia begitu bersemangat
Bermurah hati memberi bumi sinar berlimpah-limpah
Dia bilang aku payah, benar-benar payah!
Hanya karena teriknya yang sangat
Energiku terkuras tak bersisa
Pun semangatku ikut menguap
Aku tertuntuk menahan marah
Tanganku terkepal kuat
Aku bilang dia yang bersalah
Benar-benar bersalah
Hanya karena berkuasa
Dengan angkuhnya dia mengambil yang kupunya
Aku jadi kehilangan semua
Dia terbahak
Terpingkal-pingkal hingga nyaris terjungkal
Lalu tiba-tiba dia menghentikan tawa
Menatapku dengan tatapan setajam pedang
Seperti hendak menembus dan mengoyak jantungku
Aku kecut, nyaliku ciut
Badanku menggigil mengkerut

Dia murka!
Suaranya menggelegar
Dia bilang aku makhluk tak berbudi
Tak pernah tau arti terima kasih
Aku hancurkan diri sendiri
Aku rusak semesta
Lalu melempar semua borok padanya
Aku menekur, sadar telah berbuat salah
Lalu bertanya solusi terbaiknya
Tapi katanya sudah terlambat!
Dia bilang tak lagi ada yang dapat kulakukan
Aku gusar
Sia bilang akan balas dendam suatu saat kelak
Aku benar-benar ketakutan, dan tak lagi berdaya
.......

Selamat datang penguasa baru

Pilkada sudah lewat
Pemenang bakal gubernur dan wagub  sudah pula dapat
Rakyat kini menunggu harap-harap cemas
Akankah janji-janji kampanye yang dulu didengungkan
Dan terpampang di baliho-baliho raksasa di hampir tiap ruas jalan
Menjadi nyata sesuai harapan
Atau tetap menjadi janji manis pemanis mulut semata

Sejujurnya aku tak berharap banyak pada Sang Penguasa Baru
Terlalu pesimis untuk percaya pada janji-janji yang terlalu muluk
Tapi aku tetap menunggu
Adakah mereka akan menjadi pahlawan baru
Yang menyelamatkan lingkungan dari sampah yang menggunung dan bau
Dari pembangunan mubazir gedung-gedung raksasa yang tak perlu
Dari pelepasan lahan hijau untuk jadi lokasi perumahan baru

Adakah mereka akan menjadi penguasa bijak
Yang menyelamatkan anak-anak tak berdosa
Dari kebodohan karena dera kemiskinan
Dari cengkeraman penjahat jalanan karena ketidakberdayaan
Dari kebobrokan moral karena banyaknya tuntutan hidup dan lemahnya iman
 
Selamat datang penguasa baru!
Adakah lima tahun mendatang akan kau toreh sejarah baru?
Atau hanya kau ulang sejarang lalu?
......

Makassar, November 2007

Bintang Merah

Tetaplah jadi bintang merahku

Yang selalu ada di tiap malamku

Pun dalam kalbuku

Biar selalu kutatap indahmu
Dari belahan bumi manapun beradaku
.......

Makassar, 2006

Friday, May 25, 2012

Kehilangan Rasa

Pada suatu hari terjadi perbincangan dari hati ke hati antara garam, sang penguasa dapur, dengan sahabatnya gula. Berkata sang gula, "Akhir-akhir ini aku merasa aneh Ram." katanya sembari menghela nafas panjang. Sang garam memandang sahabatnya itu dengan iba. "Pasti sesuatu yg berat nih", pikirnya.

"Rasanya lucu aja tiba-tiba aku sadar aku kehilangan rasa itu." kata sang gula. Dipandangnya sang garam dengan ekspresi keheranan yang tak dibuat-buat. "Ya Allah, malang betul nasibmu. Jadi, kamu tidak lagi manis?" tanya sang garam prihatin.

Setelah terdiam beberapa saat sang gula pun menjawab, "Asin itu hilang Ram, hilang. Aku merasa lucu aja koq bisa ya hilang begitu aja?" garam melongo mendengar pengakuan sang gula.

"Emang asin itu seperti apa Bro?" tanya garam polos.

"Ummm.... Seperti apa ya? Ummm.... Ya gitu deh. Kamu pasti lebih tau dari aku." jawab sang gula tergagap.

Kali ini sang garam menatap sahabatnya itu dengan iba yang berbeda. Ditepuknya pundak sang gula dan berujar, "sabar ya."

Kisah Ulat dan Angsana

Matahari mulai tampak. Si Ulat menggeliat. Dia baru saja menjadi dirinya yang sekarang dua hari ini, dan merasa betapa Sang Mata itu terus saja melimpahinya dengan sinar. Dipicingkannya mata, silau. Pelan dia bergerak ke daun sebelah yang sedikit ternaung. Lumayan, pikirnya. Kepalanya menengok kiri kanan, mencari asal naungan itu. Dan ditemukannya, sebatang pohon yang tumbuh menjulang di sebelah rumpun bunga tempatnya berada.

Si Ulat menatap takjub. Pohon itu, entah apa namanya, berdiri tegak, tinggi menjulang seolah bisa menyentuh langit. Dahannya kokoh, hijau daunnya lebat menggiurkan.

“Hai, siapa kamu?” tanyanya penasaran pada si pohon.

Yang ditanya tetap saja bergeming, seolah tak mendengar.

“Bisa ga kita kenalan?” tanyanya kembali.

“Eh, siapa ya? Kamu bicara padaku? Suaramu terlalu kecil.” Jawabnya dengan nada sinis.

Si Ulat membusungkan dada, mengumpulkan tenaga untuk memperbesar suaranya.

“Kamu siapa? Bisa kita kenalan?” tanyanya dengan suara sekeras mungkin.

“Oh, aku Angsana.” Jawab si pohon.

Lalu hening.

Si Ulat terus memperhatikan Angsana yang semakin lama tampak semakin memesona. Kekaguman memenuhi dadanya.

“Berhenti memandangiku. Daun-daunku berguguran karena kamu.” Kata Angsana setengah memekik.

Dasar keras kepala, Si Ulat tetap saja melakukannya. Umurku tidak panjang untuk terus memandang dan bercerita padamu, bisiknya dalam hati.

Terus disapanya Angsana dan diceritakannya hal-hal yang menurutnya menarik, tak peduli dia didengar atau tidak. Adapun Angsana merasa jengah dengan tatapan dan kisah-kisah tak penting yang diceritakan Si Ulat.

“Bagaimana rasanya hampir menyentuh langit? Pasti seru ya!! Aku juga pengen seperti kamu. Atau, boleh ga aku naik ke dahanmu? Mungkin langit tampak lebih indah dari atas sana.”

Tentu saja permintaannya tak digubris. Ah, seperti berbicara dengan angin, piker Si Ulat. Dia tak mengerti mengapa Angsana tidak mau bersahabat dengannya, padahal Angsana butuh teman sama seperti dirinya.

Ketika si ulat berganti kulit untuk kesekian kalinya kembali Angsana berkata sinis.

“Ya ampun berganti baju lagi. Gantinya yang lebih baik dong dari kemarin, ganti gaya, ganti warna.” Si Ulat merasa terluka, tapi dia memaafkan Si Angsana.

“Karena aku ingin tampil rapi.” Katanya sambil menahan perih yang dirasakannya karena berganti kulit.

“Buat apa? Ga perlu!!! Apapun pakaianmu aku ga akan tertarik padamu.” Kata Angsana.

Si Ulat terdiam. Mungkin Angsana salah paham, pikirnya.

Di lain waktu Angsana berkata, “Percuma kamu terus mengajakku ngobrol, seolah-olah dengan itu aku tertarik padamu.”

“Tenang saja, besok aku tidak akan menyapamu lagi.” Kata Si Ulat pelan. Ditundukkannya kepala, tidak berani memandang ke Angsana. Dihelanya nafas sambil berkata sangat pelan, “Ah, kesempatanku melihat langit dari dekat lewat sudah. Aku harus istirahat. Tiga minggu ini begitu meletihkanku.”

Keesokan harinya Si Angsana sudah menyiapkan sederet kata sinis kalau Si Ulat masih menatap dan menegurnya. Ajaib, hingga siang hari suara kecil itu tak kunjung terdengar. Ada apa gerangan? Tanpa disadari dia mencari-cari keberadaan Si Ulat. Diperhatikannya setiap daun di rumpun bunga di bawahnya. Tak dilihatnya, kecuali benda kecil menjijikkan yang menggantung di daun yang kemarin dihuni Si Ulat. Kemana Si Ulat kecil?! Hatinya resah. Si Ulat tak pernah beranjak jauh dari gerombolan daun itu. Baik-baik saja kah dia?

Dua minggu berlalu tanpa kehadiran Si Ulat. Angsana kembali merasakan sunyi seperti sebelum kedatangan Si Ulat. Dia merasa kehilangan, dan ada sedikit sesal atas perlakuannya. Ah, Si Ulat juga koq yang rugi karena meninggalkanku, pikirnya.

Sehari kemudian dilihatnya seekor kupu-kupu yangsangat indah terbang mengitarinya. Tepi sayapnya berwarna coklat dengan motif menyerupai batik, bagian tengah dekat badannya penuh warna: ungu, biru, putih, nila, kuning emas. Ujung sayap bawahnya berenda. Perpaduan warna dan motif yang sangat indah. Tak pernah dilihatnya makhluk semanis itu.

Tiba-tiba saja Angsana tercekat ketika didengarnya suara yang begitu diingatnya: suara Si Ulat. Tak sepatah kata pun bisa diucapkannya. Dia masih saja memandangi Si Ulat dalam wujud barunya itu dengan takjub.

“Angsanaaa…” seru kupu-kupu riang

“Bagaimana kabarmu?! Tau ga, dua minggu ini aku merindukanmu, pengen ngobrol lagi tapi ga mungkin. Badanku butuh istirahat, tak bisa digerakkan. Kamu sehat kan?”

Angsana masih saja terdiam, tak menceritakan pada kupu-kupu bahwa beberapa dahannya patah karena angin kencang beberapa hari yang lalu.

“Kamu tak mengenaliku? Ini aku, Si Ulat. Kamu ingat kan?! Waktu itu aku ga bisa memandang langit dari dekat, makanya aku begitu iri padamu yang tinggi menjulang. Tapi kamu tau, sekarang aku leluasa menjelajah lebih tinggi, dengan sayapku ini. Mungkin lebih tinggi darimu. Bisa melihat langit lebih dekat, seru ya!!” celoteh kupu-kupu.

“Dua minggu ini aku…..” kalimat Angsana terputus.

“Maaf ya Angsana, aku harus pergi. Penting bagiku melatih otot-otot sayapku dengan sering terbang. Lagi pula aku butuh makan. Di ujung sana sepertinya ada bunga indah. Aku pergi dulu yaa….” Dan Si Ulat dalam jelmaan kupu-kupu pun pergi.

Tinggallah Angsana sendiri, merana kehilangan sahabat yang dulu ditolaknya.

Thursday, May 24, 2012

Lelaki di tepi jalan

Duduk bersila
Seorang lelaki tua
Di sudut jembatan penyeberangan
Kedua tangan dirangkum di pangkuan
Tubuh ringkihnya dibungkuk-bungkukkan
Mulut komat kamit dalam gumaman lirih tak jelas
Sebuah kaleng dan bungkusan kresek hitam temani kesendiriannya

Di sudut trotoar
Berselonjor seorang lelaki setengah baya
Tunjukkan kaki yang sebatas betis saja
Sesekali senandungnya terdengar
Ikuti lagu dangdut koplo dari radio di sampingnya
Sesekali dilongoknya kaleng di depannya
Yang baru terisi beberapa lembar rupiah

Berdiri menantang surya
Di sudut taman
Lelaki tak berpakaian
Menatap kosong ke atas sana
Mungkin ke langit, mungkin ke pepohonan
Mungkin ke burung-burung yang berkejaran
Tak bergerak

Seorang anak lelaki belia
Di kaca pintu taksi menempelkan wajah
Jemari mungilnya mengetuk kaca pelan
Tengadahkan tangan tunjukkan wajah memelas
Ketukan dan suaranya
Semakin keras
Kemudian berlalu bersama makiannya
……………
Jakarta, 25 Mei 2012