Matahari mulai
tampak. Si Ulat menggeliat. Dia baru saja menjadi dirinya yang sekarang
dua hari ini, dan merasa betapa Sang Mata itu terus saja melimpahinya
dengan sinar. Dipicingkannya mata, silau. Pelan dia bergerak ke daun
sebelah yang sedikit ternaung. Lumayan, pikirnya. Kepalanya menengok
kiri kanan, mencari asal naungan itu. Dan ditemukannya, sebatang pohon
yang tumbuh menjulang di sebelah rumpun bunga tempatnya berada.
Si
Ulat menatap takjub. Pohon itu, entah apa namanya, berdiri tegak,
tinggi menjulang seolah bisa menyentuh langit. Dahannya kokoh, hijau
daunnya lebat menggiurkan.
“Hai, siapa kamu?” tanyanya penasaran pada si pohon.
Yang ditanya tetap saja bergeming, seolah tak mendengar.
“Bisa ga kita kenalan?” tanyanya kembali.
“Eh, siapa ya? Kamu bicara padaku? Suaramu terlalu kecil.” Jawabnya dengan nada sinis.
Si Ulat membusungkan dada, mengumpulkan tenaga untuk memperbesar suaranya.
“Kamu siapa? Bisa kita kenalan?” tanyanya dengan suara sekeras mungkin.
“Oh, aku Angsana.” Jawab si pohon.
Lalu hening.
Si Ulat terus memperhatikan Angsana yang semakin lama tampak semakin memesona. Kekaguman memenuhi dadanya.
“Berhenti memandangiku. Daun-daunku berguguran karena kamu.” Kata Angsana setengah memekik.
Dasar
keras kepala, Si Ulat tetap saja melakukannya. Umurku tidak panjang
untuk terus memandang dan bercerita padamu, bisiknya dalam hati.
Terus
disapanya Angsana dan diceritakannya hal-hal yang menurutnya menarik,
tak peduli dia didengar atau tidak. Adapun Angsana merasa jengah dengan
tatapan dan kisah-kisah tak penting yang diceritakan Si Ulat.
“Bagaimana
rasanya hampir menyentuh langit? Pasti seru ya!! Aku juga pengen
seperti kamu. Atau, boleh ga aku naik ke dahanmu? Mungkin langit tampak
lebih indah dari atas sana.”
Tentu
saja permintaannya tak digubris. Ah, seperti berbicara dengan angin,
piker Si Ulat. Dia tak mengerti mengapa Angsana tidak mau bersahabat
dengannya, padahal Angsana butuh teman sama seperti dirinya.
Ketika si ulat berganti kulit untuk kesekian kalinya kembali Angsana berkata sinis.
“Ya
ampun berganti baju lagi. Gantinya yang lebih baik dong dari kemarin,
ganti gaya, ganti warna.” Si Ulat merasa terluka, tapi dia memaafkan Si
Angsana.
“Karena aku ingin tampil rapi.” Katanya sambil menahan perih yang dirasakannya karena berganti kulit.
“Buat apa? Ga perlu!!! Apapun pakaianmu aku ga akan tertarik padamu.” Kata Angsana.
Si Ulat terdiam. Mungkin Angsana salah paham, pikirnya.
Di lain waktu Angsana berkata, “Percuma kamu terus mengajakku ngobrol, seolah-olah dengan itu aku tertarik padamu.”
“Tenang
saja, besok aku tidak akan menyapamu lagi.” Kata Si Ulat pelan.
Ditundukkannya kepala, tidak berani memandang ke Angsana. Dihelanya
nafas sambil berkata sangat pelan, “Ah, kesempatanku melihat langit dari
dekat lewat sudah. Aku harus istirahat. Tiga minggu ini begitu
meletihkanku.”
Keesokan
harinya Si Angsana sudah menyiapkan sederet kata sinis kalau Si Ulat
masih menatap dan menegurnya. Ajaib, hingga siang hari suara kecil itu
tak kunjung terdengar. Ada apa gerangan? Tanpa disadari dia mencari-cari
keberadaan Si Ulat. Diperhatikannya setiap daun di rumpun bunga di
bawahnya. Tak dilihatnya, kecuali benda kecil menjijikkan yang
menggantung di daun yang kemarin dihuni Si Ulat. Kemana Si Ulat kecil?!
Hatinya resah. Si Ulat tak pernah beranjak jauh dari gerombolan daun
itu. Baik-baik saja kah dia?
Dua
minggu berlalu tanpa kehadiran Si Ulat. Angsana kembali merasakan sunyi
seperti sebelum kedatangan Si Ulat. Dia merasa kehilangan, dan ada
sedikit sesal atas perlakuannya. Ah, Si Ulat juga koq yang rugi karena
meninggalkanku, pikirnya.
Sehari
kemudian dilihatnya seekor kupu-kupu yangsangat indah terbang
mengitarinya. Tepi sayapnya berwarna coklat dengan motif menyerupai
batik, bagian tengah dekat badannya penuh warna: ungu, biru, putih,
nila, kuning emas. Ujung sayap bawahnya berenda. Perpaduan warna dan
motif yang sangat indah. Tak pernah dilihatnya makhluk semanis itu.
Tiba-tiba
saja Angsana tercekat ketika didengarnya suara yang begitu diingatnya:
suara Si Ulat. Tak sepatah kata pun bisa diucapkannya. Dia masih saja
memandangi Si Ulat dalam wujud barunya itu dengan takjub.
“Angsanaaa…” seru kupu-kupu riang
“Bagaimana
kabarmu?! Tau ga, dua minggu ini aku merindukanmu, pengen ngobrol lagi
tapi ga mungkin. Badanku butuh istirahat, tak bisa digerakkan. Kamu
sehat kan?”
Angsana
masih saja terdiam, tak menceritakan pada kupu-kupu bahwa beberapa
dahannya patah karena angin kencang beberapa hari yang lalu.
“Kamu
tak mengenaliku? Ini aku, Si Ulat. Kamu ingat kan?! Waktu itu aku ga
bisa memandang langit dari dekat, makanya aku begitu iri padamu yang
tinggi menjulang. Tapi kamu tau, sekarang aku leluasa menjelajah lebih
tinggi, dengan sayapku ini. Mungkin lebih tinggi darimu. Bisa melihat
langit lebih dekat, seru ya!!” celoteh kupu-kupu.
“Dua minggu ini aku…..” kalimat Angsana terputus.
“Maaf
ya Angsana, aku harus pergi. Penting bagiku melatih otot-otot sayapku
dengan sering terbang. Lagi pula aku butuh makan. Di ujung sana
sepertinya ada bunga indah. Aku pergi dulu yaa….” Dan Si Ulat dalam
jelmaan kupu-kupu pun pergi.
Tinggallah Angsana sendiri, merana kehilangan sahabat yang dulu ditolaknya.