Friday, May 25, 2012

Kehilangan Rasa

Pada suatu hari terjadi perbincangan dari hati ke hati antara garam, sang penguasa dapur, dengan sahabatnya gula. Berkata sang gula, "Akhir-akhir ini aku merasa aneh Ram." katanya sembari menghela nafas panjang. Sang garam memandang sahabatnya itu dengan iba. "Pasti sesuatu yg berat nih", pikirnya.

"Rasanya lucu aja tiba-tiba aku sadar aku kehilangan rasa itu." kata sang gula. Dipandangnya sang garam dengan ekspresi keheranan yang tak dibuat-buat. "Ya Allah, malang betul nasibmu. Jadi, kamu tidak lagi manis?" tanya sang garam prihatin.

Setelah terdiam beberapa saat sang gula pun menjawab, "Asin itu hilang Ram, hilang. Aku merasa lucu aja koq bisa ya hilang begitu aja?" garam melongo mendengar pengakuan sang gula.

"Emang asin itu seperti apa Bro?" tanya garam polos.

"Ummm.... Seperti apa ya? Ummm.... Ya gitu deh. Kamu pasti lebih tau dari aku." jawab sang gula tergagap.

Kali ini sang garam menatap sahabatnya itu dengan iba yang berbeda. Ditepuknya pundak sang gula dan berujar, "sabar ya."

Kisah Ulat dan Angsana

Matahari mulai tampak. Si Ulat menggeliat. Dia baru saja menjadi dirinya yang sekarang dua hari ini, dan merasa betapa Sang Mata itu terus saja melimpahinya dengan sinar. Dipicingkannya mata, silau. Pelan dia bergerak ke daun sebelah yang sedikit ternaung. Lumayan, pikirnya. Kepalanya menengok kiri kanan, mencari asal naungan itu. Dan ditemukannya, sebatang pohon yang tumbuh menjulang di sebelah rumpun bunga tempatnya berada.

Si Ulat menatap takjub. Pohon itu, entah apa namanya, berdiri tegak, tinggi menjulang seolah bisa menyentuh langit. Dahannya kokoh, hijau daunnya lebat menggiurkan.

“Hai, siapa kamu?” tanyanya penasaran pada si pohon.

Yang ditanya tetap saja bergeming, seolah tak mendengar.

“Bisa ga kita kenalan?” tanyanya kembali.

“Eh, siapa ya? Kamu bicara padaku? Suaramu terlalu kecil.” Jawabnya dengan nada sinis.

Si Ulat membusungkan dada, mengumpulkan tenaga untuk memperbesar suaranya.

“Kamu siapa? Bisa kita kenalan?” tanyanya dengan suara sekeras mungkin.

“Oh, aku Angsana.” Jawab si pohon.

Lalu hening.

Si Ulat terus memperhatikan Angsana yang semakin lama tampak semakin memesona. Kekaguman memenuhi dadanya.

“Berhenti memandangiku. Daun-daunku berguguran karena kamu.” Kata Angsana setengah memekik.

Dasar keras kepala, Si Ulat tetap saja melakukannya. Umurku tidak panjang untuk terus memandang dan bercerita padamu, bisiknya dalam hati.

Terus disapanya Angsana dan diceritakannya hal-hal yang menurutnya menarik, tak peduli dia didengar atau tidak. Adapun Angsana merasa jengah dengan tatapan dan kisah-kisah tak penting yang diceritakan Si Ulat.

“Bagaimana rasanya hampir menyentuh langit? Pasti seru ya!! Aku juga pengen seperti kamu. Atau, boleh ga aku naik ke dahanmu? Mungkin langit tampak lebih indah dari atas sana.”

Tentu saja permintaannya tak digubris. Ah, seperti berbicara dengan angin, piker Si Ulat. Dia tak mengerti mengapa Angsana tidak mau bersahabat dengannya, padahal Angsana butuh teman sama seperti dirinya.

Ketika si ulat berganti kulit untuk kesekian kalinya kembali Angsana berkata sinis.

“Ya ampun berganti baju lagi. Gantinya yang lebih baik dong dari kemarin, ganti gaya, ganti warna.” Si Ulat merasa terluka, tapi dia memaafkan Si Angsana.

“Karena aku ingin tampil rapi.” Katanya sambil menahan perih yang dirasakannya karena berganti kulit.

“Buat apa? Ga perlu!!! Apapun pakaianmu aku ga akan tertarik padamu.” Kata Angsana.

Si Ulat terdiam. Mungkin Angsana salah paham, pikirnya.

Di lain waktu Angsana berkata, “Percuma kamu terus mengajakku ngobrol, seolah-olah dengan itu aku tertarik padamu.”

“Tenang saja, besok aku tidak akan menyapamu lagi.” Kata Si Ulat pelan. Ditundukkannya kepala, tidak berani memandang ke Angsana. Dihelanya nafas sambil berkata sangat pelan, “Ah, kesempatanku melihat langit dari dekat lewat sudah. Aku harus istirahat. Tiga minggu ini begitu meletihkanku.”

Keesokan harinya Si Angsana sudah menyiapkan sederet kata sinis kalau Si Ulat masih menatap dan menegurnya. Ajaib, hingga siang hari suara kecil itu tak kunjung terdengar. Ada apa gerangan? Tanpa disadari dia mencari-cari keberadaan Si Ulat. Diperhatikannya setiap daun di rumpun bunga di bawahnya. Tak dilihatnya, kecuali benda kecil menjijikkan yang menggantung di daun yang kemarin dihuni Si Ulat. Kemana Si Ulat kecil?! Hatinya resah. Si Ulat tak pernah beranjak jauh dari gerombolan daun itu. Baik-baik saja kah dia?

Dua minggu berlalu tanpa kehadiran Si Ulat. Angsana kembali merasakan sunyi seperti sebelum kedatangan Si Ulat. Dia merasa kehilangan, dan ada sedikit sesal atas perlakuannya. Ah, Si Ulat juga koq yang rugi karena meninggalkanku, pikirnya.

Sehari kemudian dilihatnya seekor kupu-kupu yangsangat indah terbang mengitarinya. Tepi sayapnya berwarna coklat dengan motif menyerupai batik, bagian tengah dekat badannya penuh warna: ungu, biru, putih, nila, kuning emas. Ujung sayap bawahnya berenda. Perpaduan warna dan motif yang sangat indah. Tak pernah dilihatnya makhluk semanis itu.

Tiba-tiba saja Angsana tercekat ketika didengarnya suara yang begitu diingatnya: suara Si Ulat. Tak sepatah kata pun bisa diucapkannya. Dia masih saja memandangi Si Ulat dalam wujud barunya itu dengan takjub.

“Angsanaaa…” seru kupu-kupu riang

“Bagaimana kabarmu?! Tau ga, dua minggu ini aku merindukanmu, pengen ngobrol lagi tapi ga mungkin. Badanku butuh istirahat, tak bisa digerakkan. Kamu sehat kan?”

Angsana masih saja terdiam, tak menceritakan pada kupu-kupu bahwa beberapa dahannya patah karena angin kencang beberapa hari yang lalu.

“Kamu tak mengenaliku? Ini aku, Si Ulat. Kamu ingat kan?! Waktu itu aku ga bisa memandang langit dari dekat, makanya aku begitu iri padamu yang tinggi menjulang. Tapi kamu tau, sekarang aku leluasa menjelajah lebih tinggi, dengan sayapku ini. Mungkin lebih tinggi darimu. Bisa melihat langit lebih dekat, seru ya!!” celoteh kupu-kupu.

“Dua minggu ini aku…..” kalimat Angsana terputus.

“Maaf ya Angsana, aku harus pergi. Penting bagiku melatih otot-otot sayapku dengan sering terbang. Lagi pula aku butuh makan. Di ujung sana sepertinya ada bunga indah. Aku pergi dulu yaa….” Dan Si Ulat dalam jelmaan kupu-kupu pun pergi.

Tinggallah Angsana sendiri, merana kehilangan sahabat yang dulu ditolaknya.

Thursday, May 24, 2012

Lelaki di tepi jalan

Duduk bersila
Seorang lelaki tua
Di sudut jembatan penyeberangan
Kedua tangan dirangkum di pangkuan
Tubuh ringkihnya dibungkuk-bungkukkan
Mulut komat kamit dalam gumaman lirih tak jelas
Sebuah kaleng dan bungkusan kresek hitam temani kesendiriannya

Di sudut trotoar
Berselonjor seorang lelaki setengah baya
Tunjukkan kaki yang sebatas betis saja
Sesekali senandungnya terdengar
Ikuti lagu dangdut koplo dari radio di sampingnya
Sesekali dilongoknya kaleng di depannya
Yang baru terisi beberapa lembar rupiah

Berdiri menantang surya
Di sudut taman
Lelaki tak berpakaian
Menatap kosong ke atas sana
Mungkin ke langit, mungkin ke pepohonan
Mungkin ke burung-burung yang berkejaran
Tak bergerak

Seorang anak lelaki belia
Di kaca pintu taksi menempelkan wajah
Jemari mungilnya mengetuk kaca pelan
Tengadahkan tangan tunjukkan wajah memelas
Ketukan dan suaranya
Semakin keras
Kemudian berlalu bersama makiannya
……………
Jakarta, 25 Mei 2012